Jumat, 23 Januari 2009

Ciri-ciri Pribadi Muslim Sejati

Sumber: Ustaz Ashaari bin Muhammad
Kita tahu bahwa Islam itu bertolak daripada iman. Namun iman saja tidak mencukupi. Ia perlu juga ilmu dan amal.
Islam itu ialah iman, ilmu dan amal. Tanpa ketiga-tiga elemen ini, maka Islam tidak akan terlaksana pada pribadi seorang Muslim.
Untuk mencapai tujuanini, roh dan akal mesti berperanan. Disamping itu seseorang muslim perlu mendapat pimpinan. Ketiga-tiga pengaruh ini wajib ada. Kalau tidak pribadi Muslim itu akan jadi cacat dan tidak sempurna.
Peranan Roh Roh berperanan dalam soal iman. Roh melibatkan soal kepercayaan dan keyakinan. Tentang akidah dan pegangan. Tentang keimanan kepada Tuhan dan hari Akhirat. Tentang rasa cinta dan takut dengan Tuhan.
Namun kalau peranan roh saja yang wujud tanpa ada peranan akal dan kepimpinan, maka seseorang itu akan menjadi fanatik. Dia akan menjadi taksub secara membuta. Perasaannya tidak seimbang dan sukar untuk dikawal. Dia ingin bertindak, beramal dan membuat sesuatu tetapi tidak tahu bagaimana dan apa caranya. Pertimbangannya juga tidak seimbang dan berat sebelah. Dia akan menjadi orang yang berjiwa tetapi kaku. Dia mau bergerak tetapi tidak tahu bagaimana hendak menyusun langkah.
Peranan Akal Akal berperanan dalam soal ilmu. Ia berkait dengan penyampaian dan penerimaan ilmu. Tentang ta’alim atau pengajian. Tentang pembelajaran. Peranan akal membuat seseorang itu menjadi alim dan bepengetahuan. Namun kalau peranan akal saja yang wujud dan peranan roh dan kepimpinan tidak ada, maka seseorang itu akan menjadi ahli ilmu yang tidak cinta dan tidak takut dengan Tuhan. Yang tidak ada cita-cita akhirat.
Ilmunya akan digunakan untuk dunia semata-mata. Ilmunya akan dijual dan dikomersialkan. Ilmunya akan ditukar menjadi duit dan harta kekayaan. Ilmunya hanya untuk bermujadalah (berdebat), berforum dan berseminar. Untuk mendapat pujian, uang , pangkat, jawatan dan nama. Ilmunya tidak memberi hasil pada pribadinya.
Dia tidak dapat beramal dengan ilmunya, jauh sekali untuk memperjuangkannya. Dia akan menjadi orang alim yang tidak beramal dengan ilmunya. Dia akan menjadi jumud dan beku. Walaupun dia tahu bagaimana hendak menyusun langkah, tetapi dia tidak mempunyai kemauan dan kekuatan dalaman untuk bergerak.
Peranan Kepimpinan Kepimpinan melibatkan didikan, panduan, contoh dan suri teladan. Tentang bagaimana ilmu itu dapat dan patut diamalkan. Tentang siapa yang patut dicontohi dalam mengamalkan ilmu. Tanpa ada pimpinan dari seorang pemimpin sebagai contoh atau model, sukar ilmu dapat difahami lebih-lebih lagi untuk diamalkan dan dihayati.
Tanpa pimpinan, ilmu akan hanya tinggal ilmu. Itu sebabnya di dalam agama, dikirim Rasul yang diberi atau yang membawa kitab. Bukan kitab saja yang dihantar tanpa Rasul. Kalau kitab saja yang dihantar, maka tidak akan ada contoh atau role-model untuk diikuti. Tanpa contoh dan role-model, mustahil ilmu dapat difahami dan diamalkan.
Dalam hendak mengamalkan ilmu dan dalam hendak menjadi seorang muslim yang sempurna, contoh fisik atau kepimpinan sangat perlu. Semua bentuk peranan ini mesti ada. Tidak ada satu yang boleh ditolak. Barulah ia boleh lengkap melengkapkan. Peranan roh dan akal mesti bergabung dan contoh atau pimpinan mesti dicari.
Inilah ramuan-ramuan yang perlu untuk menjadi seorang Muslim yang sempurna. Kalau ramuan ini tidak cukup, usaha untuk menjadi seorang Muslim yang sempurna akan menjadi sia-sia. Lebih-lebih lagilah untuk menjadi seorang yang Mukmin yang bertaqwa. Sebab orang Mukmin yang bertaqwa itu, mesti sempurna Islamnya terlebih dahulu.

Minggu, 11 Januari 2009

Pacaran dalam Islam

pacaran merupakan wadah antara dua insan yang kasmaran, dimana sering cubit-cubitan, pandang-pandangan, pegang-pegangan, raba-rabaan sampai pergaulan ilegal (seks). Islam sudah jelas menyatakan: "Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk." (Q. S. Al Isra' : 32)
Seringkali sewaktu lagi pacaran banyak aktivitas laen yang hukumnya wajib maupun sunnah jadi terlupakan. Sampe-sampe sewaktu sholat sempat teringat si do'i. Pokoknya aktivitas pacaran itu dekat banget dengan zina. So....kesimpulannya PACARAN ITU HARAM HUKUMNYA, and kagak ada legitimasi Islam buatnya, adapun beribu atau berjuta alasan tetep aja pacaran itu haram.Adapun resep nabi yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas'ud: "Wahai generasi muda, barang siapa di antara kalian telah mampu seta berkeinginan menikah. Karena sesungguhnya pernikahan itu dapat menundukkan pandangan mata dan memelihara kemaluan. Dan barang siapa diantara kalian belum mampu, maka hendaklah berpuasa, karena puasa itu dapat menjadi penghalang untuk melawan gejolak nafsu."(HR. Bukhari, Muslim, Ibnu Majjah, dan Tirmidzi).
Jangan suka mojok atau berduaan ditempat yang sepi, karena yang ketiga adalah syaiton. Seperti sabda nabi: "Janganlah seorang laki-laki dan wanita berkhalwat (berduaan di tempat sepi), sebab syaiton menemaninya, janganlah salah seorang dari kalian berkhalwat dengan wanita, kecuali disertai dengan mahramnya." (HR. Imam Bukhari Muslim).
Dan untuk para muslimah jangan lupa untuk menutup aurotnya agar tidak merangsang para lelaki. Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya." (Q. S. An Nuur : 31).
Dan juga sabda Nabi: "Hendaklah kita benar-benar memejakamkan mata dan memelihara kemaluan, atau benar-benar Allah akan menutup rapat matamu."(HR. Thabrany).
Yang perlu di ingat bahwa jodoh merupakan QADLA' (ketentuan) Allah, dimana manusia ngga' punya andil nentuin sama sekali, manusia cuman dapat berusaha mencari jodoh yang baik menurut Islam. Tercantum dalam Al Qur'an: "Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rezki yang mulia (surga)."Wallahu A'lam bish-Showab
Oleh: Buletin Dakwah Remas RIHLAH SMU N I Sooko, edisi 6, 1421 HDisalin dari Lembar Buletin Dakwah BINTANG (2)
Dikutip dari http://www.alislam.or.id/artikel/arsip/00000028.html

Senin, 05 Januari 2009

Renungan : Kemerdekaan Sejati

emerdekaan SemuDalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, merdeka dimaknai sebagai bebas (dari penghambaan, penjajahan dan sebagainya); tidak terkena atau lepas dari tuntutan; tidak terikat; tidak bergantung kepada orang atau pihak tertentu; dan leluasa. Berkaitan dengan penjajahan, merdeka berarti lepas dari berbagai bentuk penjajahan dan penghambaan manusia terhadap manusia lainnya, baik penjajahan secara fisik maupun penjajahan dalam bentuk ekonomi, sosial, politik, dan budaya.Secara realitas, kita belum benar-benar merdeka; kita baru merdeka semu. Betul, penjajah Belanda maupun Jepang telah lama angkat kaki dari bumi Indonesia, tetapi itu sebatas fisik. Sementara itu, sistem dan aturan yang ada, bahkan kebergantungan kepada pihak asing, khususnya negara-negara besar, demikian tinggi. Dalam bidang ekonomi, umat Islam, termasuk Indonesia, masih terjajah; baik melalui penanaman modal asing (PMA), utang luar negeri, dolar sebagai standar mata uang, dan perdagangan bebas lewat WTO. Dengan PMA, perusahaan makanan, minuman, otomotif, elektronik, pertambangan, semen, perikanan-kelautan, dan lainnya dikuasai asing. Di Indonesia sendiri, sejak tahun 1998 terdapat 80 perusahaan yang dicengkeram oleh asing (Warta Ekonomi, no. 14/XII/9 April 2001). Negara-negara maju dapat menekan negeri Muslim terbesar ini karena jeratan utang luar negeri. Untuk menutupinya harus ada pinjaman lagi dari luar negeri; tutup lobang gali lobang terjadi. Akhirnya, utang luar negeri menyebabkan ketergantungan terus-menerus.Hingga kini, dolar diterapkan sebagai standar mata uang dunia. Karenanya, melalui permainan nilai dolar ini, negara Barat dapat mengintervensi negara lain. Sebagai contoh, krisis ekonomi, sosial, dan politik yang terjadi di Indonesia ini diawali dan dipicu oleh krisis moneter dengan anjloknya rupiah tahun 1997 hingga mencapai Rp 15.000 perdolar. Defisit anggaran sebesar 86 triliun saat itu juga disebabkan karena perubahan kurs rupiah terhadap dolar. Harga-harga di dalam negeri melonjak hanya karena perubahan nilai rupiah terhadap dolar AS. Jelaslah, dengan dolar sebagai standar mata uang, keguncangan di dalam negeri dapat direkayasa kapan saja. Realitas hidup ditentukan oleh kafir imperialis.Pada sisi lain, WTO dengan perdagangan bebasnya senantiasa merancang berbagai strategi ekonomi dan mempublikasikan kajian-kajian yang berkaitan dengan perdagangan bebas dan investasi ekonomi untuk menghilangkan hambatan tarif dan membuka pasar-pasar internasional. Dengan pasar bebas berarti kualitas menjadi tolok ukur. Sementara itu, kualitas ditentukan oleh teknologi yang dimiliki. Padahal, teknologi canggih hanya dipunyai oleh negara-negara besar dan maju. Negeri-negeri kaum Muslim tidak memiliki kemampuan itu. Akibatnya, dengan pasar bebas, kafir imperialis dapat memasarkan produk-produk mereka, termasuk peralatan militer. Sementara negeri-negeri Islam kalah bersaing. Konsekuensinya, alih-alih dapat menyaingi, negara-negara Dunia Ketiga akan terus bergantung pada negara-negara maju.Sebagai contoh, Senin (26/7/2004), Menteri Perhubungan AS Norman Y. Mineta dan Menteri Perhubungan Indonesia, menandatangani perjanjian penerbangan Langit Terbuka (Open Skies) antara kedua negara yang akan menghapus berbagai hambatan pada pelayanan udara ke, dari, dan di luar wilayah udara masing-masing. Sebagai akibat dari perjanjian itu, Amerika Serikat sekarang mempunyai hubungan Langit Terbuka dengan 65 mitra. Berkaitan dengan masalah ini, ngocor hibah dari Badan Perdagangan dan Pembangunan A.S. bernilai total 1,1 juta dolar AS. Hibah-hibah tersebut akan dipakai pada sistem kontrol dan perlengkapan lalu-lintas udara guna membantu Indonesia mengelola kawasan udaranya dengan aman di atas Kepulauan Natuna.Dalam bidang sosial dan budaya kecenderungan pem-Barat-an dengan meninggalkan nilai-nilai kemanusiaan menuju nilai hewani tampak jelas di depan mata. Bidang politik pun tidak luput dari berbagai campur tangan pihak-pihak negara besar. Kasus Pemilu yang baru lalu memberikan banyak indikasi tentang campur tangan asing tersebut. Walhasil, saat ini kita baru merdeka secara fisik dari tangan penjajah. Namun, kita tetap masih terjajah dalam bidang, ekonomi, sosial, politik, dan budaya; bahkan keyakinan dan sistem hidup.
Kemerdekaan HakikiDi dalam al-Qur’an, istilah merdeka (al-hurr, at-tahrîr) senantiasa terkait dengan pembebasan budak dari cengkeraman majikannya. Nash-nash yang menyatakan hal ini adalah:Tidak layak bagi seorang Mukmin membunuh seorang Mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja). Barangsiapa membunuh seorang Mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar denda (diyat) yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. (Qs. an-Nisaa’ [4]: 92).Istilah merdeka juga terdapat dalam Qs. al-Baqarah (2) ayat 178, Qs al-Maa’idah (5) ayat 89, dan Qs. al-Mujadilah (58) ayat 3. Berdasarkan hal ini dapat dipahami bahwa merdeka berarti lepasnya manusia dari cengkeraman dan penghambaan terhadap sesama manusia, lalu beralih kepada penghambaan semata kepada Allah SWT. Istilah merdeka dalam arti ini terdapat dalam firman Allah SWT:(Ingatlah), ketika istri Imran berkata, “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku menazarkan kepada Engkau anak yang dalam kandunganku menjadi hamba yang salih dan berkhidmat (di Baitul Maqdis). Karena itu terimalah (nazar) itu daripadaku. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Mahatahu.” (Qs. Ali Imran [3]: 35).Dengan demikian, kemerdekaan yang hakiki adalah lepasnya manusia dari menjadikan sesama manusia sebagai tuhan, lalu hanya berkhidmat dan tunduk kepada Allah SWT dengan menegakkan hukum-hukum-Nya. Dalam firman lain-Nya Allah SWT menegaskan bahwa penghambaan manusia kepada Allah SWT merupakan misi penciptaan-Nya. Allah SWT berfirman:Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. (Qs. Adz-Dzariyat [51]: 56).
Tobat dan SyukurMelihat realitas seperti ini, kita harus melakukan dua hal sekaligus, yaitu tobat dan syukur. Keterjajahan ekonomi, sosial, politik, dan budaya yang hingga kini masih berjalan akibat tidak menerapkan Islam patut ditobati. Sebaliknya, lepasnya kita dari penjajahan fisik pun patut disyukuri. Sebab, setiap kenikmatan apapun diperintahkan Allah SWT untuk kita syukuri.Tobat adalah perbuatan hati yang mencakup perasaan dan pengakuan bersalah, benci atas perbuatan salahnya tersebut, dan usaha serius untuk tidak mengulanginya lagi. Tobat berarti kembali pada kebenaran (rujû’ il al-haq). Padahal, kebenaran terdapat dalam wahyu Allah SWT; kebenaran terdapat dalam Islam. Oleh sebab itu, tobat berarti kembali pada aturan-aturan Islam secara total. Dengan kata lain, kita wajib sadar akan kesalahan, yakni tidak menerapkan Islam. Secara individual dan spiritual, tobat dapat diwujudkan dengan mengadu sepuas-puasnya, memohon atas segala kemurahan-Nya, seraya berdoa memohon ampunan kepada-Nya. Sementara itu, tobat secara praktis dan implementatif hanya dapat ditempuh dengan penerapan syariat Islam yang berasal dari Allah SWT, Zat Yang Maha Pengasih. Pada sisi lain, kekayaan sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang dianugerahkan Allah SWT serta syariat Islam yang telah diturunkan-Nya merupakan kenikmatan yang patut disyukuri. Dia Yang Mahamulia menjelaskan bahwa kenikmatan yang diberikan olehnya akan dapat disikapi dengan dua sikap berbeda, syukur ataukah kufur. Dia berfirman:Berkatalah seseorang yang mempunyai ilmu dari Al-Kitab, “Aku membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip.” Tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, ia pun berkata, “Ini termasuk kurnia Rabb-ku untuk mencoba aku apakah aku bersyukur ataukah mengingkari (akan nikmatnya). Barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya ia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri; barangsiapa yang ingkar maka sesungguhnya Rabb-ku Mahakaya lagi Mahamulia.” (Qs. an-Naml [27]: 40).Bersyukur kepada-Nya atas segala nikmat yang diberikan-Nya akan semakin menambah kenikmatan itu kepada kita. Bersyukur merupakan satu ciri kehambaan seorang hamba. Selain itu, syukur mencirikan kebutuhan hamba akan kelanggengan dan pertambahan nikmat yang selama ini diterimanya. Sebaliknya, ketika kenikmatan tersebut dikufuri maka keburukan-keburukan akan menimpa manusia akibat pilihannya tidak bersyukur atas nikmat tersebut. Allah berfirman:Ingatlah ketika Rabb kalian memaklumkan, “Sesungguhnya jika kalian bersyukur pasti kami akan menambahkan nikmat kepada kalian. Jika kalian mengingkari nikmat-Ku sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (Qs. Ibrahim [14]: 7).Apa syukur itu? Para ulama memaknai syukur sebagai upaya menggunakan sesuatu sesuai dengan kehendak si pemberi. Imam al-Ghazali menyatakan bahwa jika seseorang menggunakan nikmat itu untuk taat, berarti ia bersyukur karena bertindak sesuai dengan yang dikehendaki oleh Allah SWT. Jika dipergunakannya untuk maksiat maka itu berarti mengkufuri nikmat, karena bertindak tidak sesuai dengan yang dikehendaki Allah SWT. Sungguh, Allah SWT tidak meridhai kekufuran dan kemaksiatan hamba-Nya. Andaikata ia pun menyia-nyiakan nikmat itu, tidak dipergunakan untuk maksiat atau untuk taat, itu pun berarti kufur kepada nikmat. Dengan demikian, mensyukuri berbagai kenikmatan materil dan aturan yang diberikan Allah SWT adalah dengan cara taat total kepada-Nya melalui penerapan syariat Islam secara total.Berdasarkan hal di atas, berbagai keburukan yang menimpa masyarakat kini harus ditobati, dan kurnia Allah SWT mutlak disyukuri. Caranya, tobat dan syukur tersebut diwujudkan dalam bentuk ketaatan kepada Allah SWT. Ketaatan kepada Allah SWT berarti taat pada syariat Islam sebagai aturan dan sistem hidup yang diridhai-Nya untuk mengurus segenap manusia. Dengan kata lain, kesalahan menerapkan aturan kufur dan sekular yang selama ini dilakukan merupakan kesalahan dan karenanya harus segera dihentikan, lalu bertobatlah dan syukuri kemerdekaan secara fisik ini dengan penerapan syariat Islam. [Buletin Al-Islam, Edisi 217]